105. Al-Fil
(Gajah)
Dengan Nama Allah, Pemilik Kasih Sayang yang Maha
Pemurah
1. Tiadakah kamu (wahai Nabi Muhammad) memperhatikan. Bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap serdadu
penunggang gajah?
2. Tuhan menjadikan sia-sia rencana mereka.
3. Tuhan mengirim burung secara berbondong-bondong kepada
mereka.
4. Melontarnya dengan
batu-batu terbakar.
[Sijjil berarti tanah yang mengeras seperti batu]
5. Tuhan
menjadikan mereka bagai dedaunan yang digerogoti ulat.
Derajat Terjemahan
Terjemah
al-Qur’an bukan al-Qur’an sesungguhnya.
Bukan al-Qur’an sejati yang diwahyukan kepada Maharasul Muhammad. Al-Qur’an senantiasa berbahasa Arab
klasik. Tidak dinamakan al-Qur’an jika
firman-firman Allah tersebut disadur ke bahasa Bugis atau Perancis. Soalnya, terjemahan muskil menampung seratus
persen maksud al-Qur’an. Alih bahasa
mustahil sepadan dengan arti hakiki yang dimaksud Allah. Apalagi, bahasa al-Qur’an bernas, ringkas,
puitis sekaligus sarat makna. Sedangkan
aneka bahasa yang digunakan dalam terjemahan tak efektif serta efisien.
Terjemah
al-Qur’an hanya deretan kata manusia, bukan untaian Kalam Ilahi dari Lauhul Mahfuz. Hingga, terjemah al-Qur’an tidak hidup, tak
punya sukma yang bisa menggelorakan spirit.
Terjemah al-Qur’an selalu kaku dan acap membingungkan. Dengan demikian, posisi terjemahan sekedar
“pengantar” untuk membaca al-Qur’an.
Bukan “kunci” buat memahami al-Qur’an.
Terjemah
al-Qur’an tidak pernah serupa.
Terjemahan senantiasa tampil beda.
Aspek itu menandaskan bahwa terjemahan tak mungkin setara dengan
al-Qur’an. Maklum, Kalam Ilahi tersebut
memiliki irama dalam teks, kejelasan arti, sintaks kalimat serta penggunaan
kata.
Terjemah
al-Qur’an secara harfiah (letterlejk) termasuk
repot diaplikasikan. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa terjemahan harfiah rumit lantaran membutuhkan persyaratan
yang berat direalisasikan. Terjemahan
harfiah susah karena ada mufradat
(sinonim) per huruf antara bahasa penerjemah dengan bahasa al-Qur’an. Kemudian ada tanda baca yang sama pada bahasa
penerjemah terhadap tanda baca pada bahasa al-Qur’an. Tanda baca tersebut minimal mirip. Selain itu, terjemahan secara harfiah
menuntut kesamaan susunan kata antara bahasa penerjemah dengan bahasa
al-Qur’an. Kesamaan tersebut mencakup
kalimat, sifat atau tambahan-tambahannya.
Terjemahan
harfiah diharamkan ulama akibat makna yang dikandungnya kurang sempurna. Hatta, jauh dari maksud al-Qur’an.
Walau sukar,
tetapi, ada terjemahan yang benar-benar setia pada kata-kata dalam
al-Qur’an. Mereka berusaha selaras
dengan wahyu. Sebab, khawatir
mengaburkan arti. Mereka menjaga
interpolasi pikiran.
Terjemahan tidak
lepas pula dari platform sastra.
Terjemahan berdimensi puitis itu diperkaya dengan nuansa keindahan
bahasa si penerjemah. Dalam kasus ini,
penerjemah dapat digolongkan sebagai figur liberal. Pasalnya, menyuntikkan semangat bahasa ibu si
penerjemah ke dalam terjemahan. Mereka
tak menyukai kesetiaan pada tiap kata-kata Arab. Penerjemah semacam ini memakai kebebasan
dengan kata-kata pilihan.
Di berbagai
bentala, ada terjemahan yang benar-benar akademis. Ada juga sekedar informatif dengan bumbu
bahasa jurnalistik sastrawi. Tiap
kalimat tidak setia dengan kata per kata al-Qur’an. Spirit yang diemban ialah bagaimana al-Qur’an
cepat diserap dan tak membosankan ditelaah.
Pada akhirnya,
seluruh terjemahan dilandasi vitalitas agar Kalam Ilahi tersebut membuncah di
hati. Tiada seorang pun ingin
menampilkan terjemahan ala kadarnya.
Elemen itu pula yang membuat segenap terjemahan wajib dilengkapi di sisi
kanan atau atasnya teks al-Qur’an yang berbahasa Arab. Alhasil, bila ada yang salah atau keliru,
maka, pembaca segera mengecek ke al-Qur’an asli.
Terjemahan apa
saja terasa sempurna kalau dilampiri teks tulen al-Qur’an. Soalnya, al-Qur’an berbahasa Arab tersebut
sanggup berpengaruh secara psikologis terhadap pembacanya, biarpun ia tidak
mengerti bahasa Arab.
Di luar
negara-negara Arab, istilah paling membingungkan dalam al-Qur’an yakni kata nahnu.
Dhamir (kata ganti) nahnu bermakna “kita” atau “kami”. Dalam ilmu Nahwu (sintaksis), nahnu
bisa diterjemahkan “kita”, “kami”, “saya” atau yang lain tergantung konteks
kalimat.
Dalam bahasa
Arab, istilah serta kata tak selalu berarti zahir atau apa adanya. Sebagai contoh, kata antum (kalian). Antum sering digunakan untuk menyapa
lawan bicara kendati cuma satu orang.
Tidak dipakai kata anta
(kamu). Penggunaan antum yang plural dipandang lebih sopan sembari menghargai lawan
bicara.
Di Indonesia,
orang menyapa lawan bicara dengan kamu, Anda atau tuan. Kamu, Anda dan tuan punya rasa bahasa yang
berbeda. Kamu biasa dipakai untuk lawan
bicara yang lebih muda atau di kalangan sebaya.
Anda digunakan kepada lawan bicara yang dituakan. Sementara tuan buat orang yang
dimuliakan. Anda serta tuan dalam sosio-linguistik
Arab bermakna ta’zim alias kata
beradab terhadap lawan bicara yang memiliki derajat tinggi atau kepada
khalayak.
“Kami” merupakan
sebutan Allah untuk diriNya. Dalam
bahasa Arab, ada jamak kuantitas dan jamak kualitas. Jamak kuantitas (al-mutakallim ma’a ghairihi) menunjukkan jumlah banyak atau kata
ganti orang pertama plural. Sedangkan
jamak kualitas (al-mutakallim al-muazzim
li nafsih) menerangkan pola tunggal dengan banyak predikat atau berarti
keagungan atas dirinya.
Dalam tata bahasa
Arab, terdapat kata ganti pertama singular “ana”
(saya). Lantas ada kata ganti pertama
plural “nahnu” (kami atau kita). Lazim terjadi pada bahasa lain jika kata
ganti pertama plural bisa berperan sebagai singular. Dalam nahwu
sharaf (Arabic grammar), inilah
yang dinamakan al-mutakallim al-muazzim
li nafsih (kata ganti pertama yang mengagungkan diri sendiri).
Allah menegaskan
diri dengan “Kami” berkat predikat di sisi-Nya berjumlah banyak. Zat Esa itu tercantum sebagai pencipta,
pengatur, pemelihara, pemaaf, penyayang serta Raja Diraja alam semesta. Allah tak tidur! Ia sibuk terus mencipta seraya mendengar doa
insan saleh.
“Semua makhluk di
langit dan bumi senantiasa memohon kepada-Nya.
Tiap waktu Ia sibuk (mencipta serta memelihara makhluk-makhluk-Nya)” (ar-Rahman: 29).
Saat membaca
al-Qur’an, maka, bertabur kata Allah dalam Kitab Suci. Harap dimafhumi bahwa nama asli penguasa
langit dan bumi tiada lain Allah. “Aku
ini Allah. Tiada Tuhan kecuali Aku!” (Thaha: 14).
Allah sendiri
memaklumatkan bila nama-Nya adalah Allah.
Allah merupakan nama diri (proper
name) dari Zat Mahakuasa. Dalam
kaidah bahasa Arab, kata Allah berwujud ism
jamid. Kategori tersebut menjabarkan
kalau kata Allah bukan ism (kata
benda) yang diambil dari kata kerja.
Arkian, tidak boleh diubah dalam bentuk apa pun! Ini berbeda dengan kata rabbun (tuhan). Rabbun modelnya ism musytaq (kata benda yang dibentuk dari kata lain dengan arti
berbeda dari kata pembentuknya). Rabbun terambil dari kata kerja rabba, rabbi atau tarbiyatan.
Istilah Allah bagi
umat Islam teramat jelas posisinya.
Berbeda dengan Yahudi. Mereka tak
mengerti bagaimana mengucapkan fonem יהוה (YHVH) dalam Perjanjian Lama. Ini gara-gara tidak ada tradisi sanad
(rentetan jalur sumber) yang sampai kepada Nabi Musa. Akibatnya, Yahudi bingung bin bimbang membaca
YHWH (tetragrammaton alias empat
huruf nama tuhan). Bahkan, Yahudi
Ortodoks ogah melafalkannya. Mereka
terpaksa membacanya adonai (tuhan
atau tuan). Di kamus tersua bahwa adonai ialah a Hebrew name for God, usually translated in the Old Testament by the
word “Lord”.
Untuk mengibuli
umatnya serta penduduk planet biru ini, maka, YHWH diinformasikan sebagai
sebutan dalam bentuk orang ketiga tunggal.
YHWH dicelotehkan sebagai “Dialah yang ada, Dialah Dia”.
Pada esensinya,
empat konsonan itu sekedar ditebak pengucapannya. Kadang dibaca Yahweh, Yahuweh, Yehuwa, Yahavah, Yaheveh, Yahaveh atau apa saja
sesuai selera. Dengan demikian, Yahweh atau Yehovah sekedar nama jadi-jadian bagi tuhan mereka. Ini sungguh aneh. Sebab, nama tuhan mereka sendiri tak
diketahui secara pasti.
Di kalangan
Kristen, istilah Allah bukan nama diri sebagaimana konsep Islam. Kristen menganggap jika Allah merupakan
sebutan untuk “wujud yang disembah” (al-ilah). Hingga, tuhan boleh dipanggil Allah, Yahweh, God atau Lord. Mereka cuma paham bahwa nama tersebut merujuk
pada sesuatu yang disembah.
Terkutuk
sekawanan agen Thaghut (sesembahan
paling nista) berlabel Islam progresif berasas liberal yang berceloteh: “Tiada
tuhan selain Tuhan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar