114.
An-Naas
(Manusia)
Dengan
Nama Allah, Pemilik Kasih Sayang yang Maha Pemurah
1. Katakan (wahai Nabi
Muhammad): “Saya berlindung kepada Allah, pemelihara manusia”.
2. “Maharaja manusia”.
3. “Tuhan yang berhak
disembah manusia”.
4. “Dari godaan setan
yang timbul-tenggelam”.
5. “Membisikkan
kejahatan ke hati manusia”,
6. “Mereka berasal dari
jin dan manusia”.
Derajat Terjemahan
Terjemah
al-Qur’an bukan al-Qur’an sesungguhnya.
Bukan al-Qur’an sejati yang diwahyukan kepada Maharasul Muhammad. Al-Qur’an senantiasa berbahasa Arab
klasik. Tidak dinamakan al-Qur’an jika
firman-firman Allah tersebut disadur ke bahasa Bugis atau Perancis. Soalnya, terjemah muskil menampung seratus
persen maksud al-Qur’an. Alih bahasa mustahil
sepadan dengan arti hakiki yang dimaksud Allah.
Apalagi, bahasa al-Qur’an bernas, ringkas, puitis sekaligus sarat makna. Sedangkan aneka bahasa yang digunakan dalam
terjemahan tak efektif serta tidak efisien.
Terjemah
al-Qur’an hanya deretan kata manusia, bukan untaian Kalam Ilahi dari Lauhul Mahfuz. Hingga, terjemah al-Qur’an tidak hidup, tak
punya sukma yang bisa menggelorakan spirit.
Terjemah al-Qur’an selalu kaku dan acap membingungkan. Dengan demikian, posisi terjemahan sekedar
“pengantar” untuk membaca al-Qur’an.
Bukan “kunci” buat memahami al-Qur’an.
Terjemah
al-Qur’an tidak pernah serupa.
Terjemahan senantiasa tampil beda.
Aspek itu menandaskan bahwa terjemahan tak mungkin setara dengan
al-Qur’an. Maklum, Kalam Ilahi tersebut
memiliki irama dalam teks, kejelasan makna, sintaks kalimat serta penggunaan
kata.
Terjemah
al-Qur’an secara harfiah (letterlejk) termasuk
repot diaplikasikan. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa terjemahan harfiah rumit lantaran membutuhkan persyaratan
yang berat direalisasikan. Terjemahan
harfiah susah karena ada mufradat
(sinonim) per huruf antara bahasa penerjemah dengan bahasa al-Qur’an. Kemudian ada tanda baca yang sama pada bahasa
penerjemah terhadap tanda baca pada bahasa al-Qur’an. Tanda baca tersebut minimal mirip. Selain itu, terjemahan secara harfiah
menuntut kesamaan susunan kata antara bahasa penerjemah dengan bahasa
al-Qur’an. Kesamaan tersebut mencakup
kalimat, sifat atau tambahan-tambahannya.
Terjemahan
harfiah diharamkan ulama akibat arti yang dikandungnya kurang sempurna. Hatta, jauh dari maksud al-Qur’an.
Walau sukar,
tetapi, ada terjemahan yang benar-benar setia pada kata-kata dalam
al-Qur’an. Mereka berusaha selaras
dengan wahyu. Sebab, khawatir
mengaburkan makna. Mereka menjaga interpolasi
pikiran.
Terjemahan tidak
lepas pula dari platform sastra. Terjemahan berdimensi puitis itu diperkaya
dengan nuansa keindahan bahasa si penerjemah.
Dalam kasus ini, penerjemah dapat digolongkan sebagai figur
liberal. Pasalnya, menyuntikkan semangat
bahasa ibu si penerjemah ke dalam terjemahan.
Mereka tak menyukai kesetiaan pada tiap kata-kata Arab. Penerjemah semacam ini menggunakan kebebasan
dengan kata-kata pilihan.
Di berbagai bentala,
ada terjemahan yang benar-benar akademis.
Ada juga sekedar informatif dengan bumbu bahasa jurnalistik
sastrawi. Tiap kalimat tidak setia
dengan kata per kata al-Qur’an. Spirit
yang diemban ialah bagaimana al-Qur’an cepat diserap dan tak membosankan
ditelaah.
Pada akhirnya, seluruh
terjemahan dilandasi vitalitas agar Kalam Ilahi tersebut membuncah di hati. Tiada seorang pun ingin menampilkan
terjemahan ala kadarnya. Elemen itu pula
yang membuat segenap terjemahan wajib dilengkapi di sisi kanan atau atasnya
teks al-Qur’an yang berbahasa Arab. Alhasil,
bila ada yang salah atau keliru, maka, pembaca segera mengecek ke al-Qur’an asli.
Terjemahan apa
saja terasa sempurna kalau dilampiri teks tulen al-Qur’an. Pasalnya, al-Qur’an berbahasa Arab tersebut
sanggup berpengaruh secara psikologis terhadap pembacanya, biarpun ia tidak
mengerti bahasa Arab.
Di luar
negara-negara Arab, istilah paling membingungkan dalam al-Qur’an yakni kata nahnu.
Dhamir (kata ganti) nahnu berarti “kita” atau “kami”. Dalam ilmu Nahwu, nahnu bisa diterjemahkan kita, kami, saya atau yang lain tergantung
konteks kalimat.
Dalam bahasa
Arab, istilah serta kata tak selalu bermakna zahir atau apa adanya. Sebagai contoh, kata antum (kalian). Antum sering dipakai untuk menyapa lawan
bicara kendati cuma satu orang. Tidak
digunakan kata anta (kamu). Pemakaian antum
yang plural dianggap lebih sopan sembari menghargai lawan bicara.
Di Indonesia,
orang menyapa lawan bicara dengan kamu, Anda atau tuan. Kamu, Anda dan tuan punya rasa bahasa yang
berbeda. Kamu biasa digunakan untuk
lawan bicara yang lebih muda atau di kalangan sebaya. Anda dipakai kepada lawan bicara yang
dituakan. Sementara tuan buat orang yang
dimuliakan. Anda serta tuan dalam
sosio-linguistik Arab berarti ta’zim
alias kata beradab terhadap lawan bicara yang memiliki derajat tinggi atau
kepada khalayak.
“Kami” merupakan
sebutan Allah untuk diriNya. Dalam
bahasa Arab, ada jamak kuantitas dan jamak kualitas. Jamak kuantitas (al-mutakallim ma’a ghairihi) menunjukkan jumlah banyak atau kata
ganti orang pertama plural. Sedangkan jamak
kualitas (al-mutakallim al-muazzim li
nafsih) menerangkan pola tunggal dengan banyak predikat atau bermakna
keagungan atas dirinya.
Dalam tata bahasa
Arab, terdapat kata ganti pertama singular “ana”
(saya). Kemudian ada kata ganti pertama
plural “nahnu” (kami atau kita). Lazim terjadi pada bahasa lain kalau kata
ganti pertama plural dapat berperan sebagai singular. Dalam nahwu
sharaf (grammar Arab), aspek itu dinamakan al-mutakallim al-muazzim li nafsih (kata ganti pertama yang mengagungkan
diri sendiri).
Allah menegaskan
diri dengan “Kami” berkat predikat di sisi-Nya berjumlah banyak. Zat Esa itu tercantum sebagai pencipta,
pengatur, pemelihara, pemaaf, penyayang serta Raja Diraja alam semesta. Allah tak tidur! Ia sibuk terus mencipta seraya mendengar doa
insan saleh.
“Semua makhluk di
langit dan bumi senantiasa memohon kepada-Nya.
Tiap waktu Ia sibuk (mencipta serta memelihara makhluk-makhluk-Nya)” (ar-Rahman: 29).
Saat membaca
al-Qur’an, maka, bertabur kata Allah dalam Kitab Suci. Harap dimafhumi bahwa nama asli penguasa
langit dan bumi tiada lain Allah. “Aku
ini Allah. Tiada Tuhan kecuali Aku!” (Thaha: 14).
Allah sendiri memaklumatkan
jika nama-Nya adalah Allah. Allah
merupakan nama diri (proper name)
dari Zat Mahakuasa. Dalam kaidah bahasa
Arab, kata Allah berwujud ism jamid. Kategori tersebut menjabarkan bila kata Allah
bukan ism yang diambil dari kata
kerja. Arkian, tidak boleh diubah dalam bentuk
apa pun! Ini berbeda dengan kata rabbun (Tuhan). Rabbun
modelnya ism mustaq yang terambil
dari kata kerja rabba, rabbi atau tarbiyatan.
Istilah Allah bagi
umat Islam sangat jelas maksud dan maknanya.
Berbeda dengan Yahudi. Mereka tidak
mengerti bagaimana mengucapkan fonem יהוה (YHVH) dalam Perjanjian Lama. Ini gara-gara tidak ada tradisi sanad yang bisa ditelusuri sampai kepada Nabi Musa. Akibatnya, Yahudi bingung bin bimbang membaca
YHWH. Bahkan, Yahudi Ortodoks ogah
melafalkannya. Mereka terpaksa membacanya
Adonai (Tuhan).
Empat konsonan itu
hanya ditebak pengucapannya. Kadang
dibaca Yahweh, Yahuweh, Yehuwa, Yahavah,
Yaheveh, Yahaveh atau apa saja sesuai selera. Dengan demikian, Yahweh atau Yehovah
sekedar nama jadi-jadian bagi tuhan mereka.
Ini sungguh aneh. Sebab, nama
tuhan mereka sendiri tidak diketahui secara pasti.
Di kalangan
Kristen, istilah Allah bukan nama diri sebagaimana konsep Islam. Kristen menganggap kalau Allah merupakan
sebutan untuk “wujud yang disembah” (al-ilah). Alhasil, tuhan boleh dipanggil Allah, Yahweh, God atau Lord. Mereka cuma paham bahwa nama itu merujuk pada
sesuatu yang disembah.
Terkutuk
sekawanan agen Thaghut (sesembahan
paling nista) berlabel Islam progresif berasas liberal yang berceloteh: “Tiada
tuhan selain Tuhan”.
Abdul Haris Booegies
Tidak ada komentar:
Posting Komentar